yulitaadriyanti12@gmail .com

Modifikasi Gudang Menjadi Kejutan

Buku Pintu Diskusi



                 
          Membaca bukanlah sebuah rutinitas baru bagiku. Akan tetapi bergabung dalam sebuah komunitas literasi, aku mulai memiliki rutinitas baru di luar kuliah yaitu kajian. Hampir setiap hari setelah selesai kuliah aku menyempatkan diri untuk berdi
skusi dengan teman komunitasku. Pro dan kontra pun mewarnai diskusi kami. Pembahasan kami akhirnya sampai pada sebuah buku yang yang berjudul dialektika. Dialektika menurut salah satu ahli. Seseorang diantara kami mengatakan “dialektika itu adalah suatu keadaan dimana realitas kehidupan menutut kreativitas baru dari manusia.” Kemudian yang satunya lagi mengatakan “dialektika itu merupakan suatu keadaan dimana manusia mulai sadar tentang fungsi sesuatu benda dan semacamnya tidak lagi sejalan dengan apa yang ada dalam pikiran manusia.”
           “Aku sepakat dengan hal itu, aku berpikir bahwa Laptop, Hp, kendaraan dan lain-lain yang diproduksi adalah merupakan hasil dialektika yang dilakukan oleh beberapa orang,” kataku yang menambahkan pendapat teman ku. Sehingga manusia terus menerus berpikir bagaimana membuat produk yang akan lebih dan lebih memudahkan manusia dalam segala aktivitasnya dengan kecanggihan teknologi yang ada. Bagaimana pun caranya manusia selalu menuntut agar tercipta realitas baru dari kreativitas baru manusia itu sendiri.
          Aku begitu antusias berpendapat hingga aku tersadar bahwa aku sendiri ternyata selalu menyalahkan pendapat teman ku, aku selalu menyatakan “bukan begitu” kataku. Hanya sesekali aku sepakat dengan pendapat teman ku. Padahal kalau dipikir-pikir mereka jauh melampaui jumlah buku yang mereka baca. Pada saat itu aku baru membaca beberapa buku. Masih kurang dari sepuluh. Akan tetapi, dengan begitu angkuhnya aku mulai menentang teman-teman ku. Aku seperti orang yang sudah paling tahu di setiap perkumpulan baik dalam keluarga, teman kuliah maupun dengan teman komunitas literasi ku. Padahal bukan begitu sikap yang sebenarnya ditunjukkan oleh orang yang bijak. Aku pun berpikir bahwa seharusnya seseorang apabila semakin berilmu maka dia akan semakin bijak. Apapun yang dihadapinya termasuk dalam hal berpendapat. Tugasnya orang berilmu bukan hanya membenarkan pendapat sendiri dengan selalu melakukan pembelaan yang dibumbui dengan apologi. Tatapi orang yang luas wawasannya justru malah selalu menerima setiap masukan yang datang kepadanya dan bukan menolak apalagi meyalahkan sedikit pun. Itu hasil renungan ku di malam hari menjelang dunia mimpi menyapa.
            Keesokan harinya, aku ke taman membawa makanan untuk kucing. Setelah sekian lama, akhirnya ia kembali menggoreskan tulisan di papan tulis. “apa kabar?”
Aku pun membalasnya “baik, nama kamu siapa?” aku pun lekas beranjak dari taman itu. Tak lama kemudian aku kembali lagi ke tempat semula. Seseorang baru saja beranjak dari taman, namun ia berlalu begitu cepat. Hanya punggungnnya yang tampak dari kejauhan lalu perlahan menghilang oleh silaunya matahari pagi. Aku hampir lupa dengan buku yang aku simpan tadi tepat di sebelah kanan kucing. Aku lalu mengambilnya lalu pergi dan tak henti-hentinya aku bertanya-tanya tentang sosok yang sering ke taman itu juga. Mungkinkah ia adalah seseorang yang aku kenal?
               Entah kenapa aku selalu berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja. Meskipun sebenarnya rasa penasaran ku sudah membludak. Aku pkir itu bukanlah sesuatu yang begitu berarti untuk dipikirkan. Dikarenakan persoalan rutinitas masih banyak yang mengantri di belakang. Jadwal harian ku mulai memanggil. Jam sekian aku ke kampus untuk melakukan aktivitas kampus termasuk diantaranya kajian dan ngumpul bersama teman di kanting.
             Sesampai di rumah, aku langsung siap-siap ke kampus. Aku diantar oleh pak Sugiatno. Aku tdak pernah memanggilnya pak supir karena aku menghargainya sebagai subjek sama sepertiku yang butuh penghargaan dengan serendah-rendahnya pekerjaan. Karena pada hakikatnya bukan pekerjaannya yang rendah namun pikirannya orang-orang yang rendah. Itu pandangan ku ketika melihat seseorang yang memandang remeh orang lain dari segi pekerjaan.
              Demikianlah jadwal harian ku yang sudah tidak bisa diganggu gugat. Meskipun kadang-kadang ada jadwal yang molor, aku berusaha agar diisi dengan berkunjung ke perpustakaan pribadiku. Karena sendiri itu sepi, maka aku mengajak beberapa teman komunitas literasi untuk berkunjung ke perpustakaan ku. Kemudian berdiskusi mengenai hal yang perlu didiskusikan.
              “Sebuah kritik harusnya berkontribusi,” kata Rico. Ia berpendapat bahwa terkadang manusia tidak tahu membedakan antara mengkritik dengan mencelah. Ada yang kritiknya luar biasa bagus namun tidak berkontribusi atau tidak memberikan solusi. Tidak jarang pula kita mendapati yang dikritik adalah orang yang tahu apa-apa dan yang dikritik justru yang tahu apa-apa. Sehingga yang dikritik menjadi tidak lagi dipercaya dan yang mengkritik justru merasa tinggi hati. Merasa sudah mampu memberikan pendapatnya meskipun ia sendiri tidak menguasai sesuatu yang dikritik itu sendiri. Berhubung dosen kami tidak masuk di jam itu, akhirnya diskusi kami berlangsung cukup lama. Kekososngan yang seperti itulah yang aku seringkali mengisinya dengan banyak-banyak berdiskusi dengan teman-temanku. Sekalipun banyak juga jenis kepala dalam diskusi sehingga menimbulkan berbagai bentuk pergulatan ide-ide pemikiran yang terkonsep dalam pikiran masing-masing. Justru perbedaan pendapat itu perlu agar tercipta yang namanya pertukaran pikiran (sharing). Hal itu bukanlah sebuah hal yang membuat kita tepecah. Aku bahkan pernah mendapat sebuah ungkapan bahwa “itulah tugasnya filsafat, maka dari itu, sedikit banyaknya kita perlu belajar filsafat, karena tujuan filsafat adalah sebagai clarifying konsep.” Perdebatan tidak akan berujung jika ternyata konsep yang ada dalam pikiran kita dengan orang lain berbeda sejak awal. Itulah tugasnya filsafat, mengklarifikasi konsep agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam berargumentasi.
             Jika kritik itu perlu, maka kritik itu harus membangun. Kami pun bersepakat bahwa seseorang harus menguasai dengan baik terkait hal yang ingin dikritik barulah ia mengkritik. Bukan malah sebaliknya, tidak paham apa-apa malah mengkritik. Sehingga jatuhnya jadi asal bunyi. Mengkritik tapi ia sendiri tidak tahu tentang apa yang ia kritik.
              Ruang kuliah telah menunggu. Aku masuk kuliah lagi. Kali ini aku tidak lagi terlambat. Aku telah benar-benar merealisasikan jadwalku yang dulunya hanya sekadar pajangan di dinding kamar. Kini jadwal harian termasuk jadwal kuliah aku bawa kemana-mana. Sedikit datar namun itulah aku. Berbeda dengan mereka yang terbiasa mengalokasikan waktunya khusus untuk sang kekasih mungkin.
            “Harus berapa lama lagi gelar jomblo ini melekat pada diriku ya Allah?” aku berkata demikian di depan gedung perkuliahan sambil menatap sepasang kekasih yang sedang bergandengan tangan menuju kantin kampus. Tidak juga sering, namun kadang pikiran demikian datang menghampiri seolah juga ingin seperti mereka. Namun aku memilih sendiri. Oleh karenanya teman ku selalu menghiburku dengan “kamu bukan jomblo Rania, tapi kamu single,” “Jika itu adalah cinta sejati, maka ia akan menemukan jalannya.” Teman ku yang satu ini memang kaya akan kata-kata puitis yang sampai-sampai membuatku meleleh sendiri dengan kata-katanya.
              Adapun ketika aku menyukai seseorang, aku memilih untuk menanggungnya sendiri. Kata Rumi “karena dalam diam aku tak menemukan penolakan.” Sebuah ungkapan yang mungkin akan menjadi penenang bagi para penggemar rahasia yang takut tertolak. Aku terkadang berpesan pada diriku sendiri, bahwa
          “sendiri itu bahagia, tidak ada beban pikiran, memiliki sebuah hubungan di luar nikah justru mengundang zina, ditambah lagi membuat konsentrasi menjadi terganggu, membuang-buang waktu dengan mengorbangkan ini dan itu apalagi hanya bermodalkan fisik dan semacamnya padahal belum tentu juga jodoh.”
           Buku selalu siap menemani. Pikirku buku ketika selingkuh tidak akan berefek sakit hati. Bagaimana tidak, kadang aku sendiri yang membuat ia selingkuh, bahkan rela membuat ia menginap beberapa malam di kediaman teman ku. Ia diculik pun tidak apa-apa. Asalkan ia dibaca dan direfleksikan di kehidupan nyata. Barangkali itulah yang akan menjadi kebahagiaan tersendiri bagi ku. Ternyata aku tidak sendiri.
                       



_Fiction_


SELAMAT HARI BUKU 





3 komentar:

Student's Experiences

Jangan Nilai Covernya

Jangan Nilai Covernya      Suatu hari,  seorang laki-laki masuk di restorant yang tergolong elit dengan baju compang camping. Rest...

Jangan Nilai Covernya