Membaca bukanlah sebuah rutinitas baru bagiku. Akan tetapi bergabung dalam sebuah komunitas literasi, aku mulai memiliki rutinitas baru di luar kuliah yaitu kajian. Hampir setiap hari setelah selesai kuliah aku menyempatkan diri untuk berdi
skusi dengan teman
komunitasku. Pro dan kontra pun mewarnai diskusi kami. Pembahasan kami akhirnya
sampai pada sebuah buku yang yang berjudul dialektika. Dialektika menurut salah
satu ahli. Seseorang diantara kami mengatakan “dialektika itu adalah suatu
keadaan dimana realitas kehidupan menutut kreativitas baru dari manusia.”
Kemudian yang satunya lagi mengatakan “dialektika itu merupakan suatu keadaan
dimana manusia mulai sadar tentang fungsi sesuatu benda dan semacamnya tidak
lagi sejalan dengan apa yang ada dalam pikiran manusia.”
“Aku sepakat dengan hal itu, aku
berpikir bahwa Laptop, Hp, kendaraan dan lain-lain yang diproduksi adalah
merupakan hasil dialektika yang dilakukan oleh beberapa orang,” kataku yang
menambahkan pendapat teman ku. Sehingga manusia terus menerus berpikir
bagaimana membuat produk yang akan lebih dan lebih memudahkan manusia dalam
segala aktivitasnya dengan kecanggihan teknologi yang ada. Bagaimana pun
caranya manusia selalu menuntut agar tercipta realitas baru dari kreativitas
baru manusia itu sendiri.
Aku begitu antusias berpendapat
hingga aku tersadar bahwa aku sendiri ternyata selalu menyalahkan pendapat
teman ku, aku selalu menyatakan “bukan begitu” kataku. Hanya sesekali aku
sepakat dengan pendapat teman ku. Padahal kalau dipikir-pikir mereka jauh
melampaui jumlah buku yang mereka baca. Pada saat itu aku baru membaca beberapa
buku. Masih kurang dari sepuluh. Akan tetapi, dengan begitu angkuhnya aku mulai
menentang teman-teman ku. Aku seperti orang yang sudah paling tahu di setiap
perkumpulan baik dalam keluarga, teman kuliah maupun dengan teman komunitas
literasi ku. Padahal bukan begitu sikap yang sebenarnya ditunjukkan oleh orang
yang bijak. Aku pun berpikir bahwa seharusnya seseorang apabila semakin berilmu
maka dia akan semakin bijak. Apapun yang dihadapinya termasuk dalam hal
berpendapat. Tugasnya orang berilmu bukan hanya membenarkan pendapat sendiri
dengan selalu melakukan pembelaan yang dibumbui dengan apologi. Tatapi orang
yang luas wawasannya justru malah selalu menerima setiap masukan yang datang
kepadanya dan bukan menolak apalagi meyalahkan sedikit pun. Itu hasil renungan
ku di malam hari menjelang dunia mimpi menyapa.
Keesokan harinya, aku ke taman
membawa makanan untuk kucing. Setelah sekian lama, akhirnya ia kembali
menggoreskan tulisan di papan tulis. “apa kabar?”
Aku pun membalasnya
“baik, nama kamu siapa?” aku pun lekas beranjak dari taman itu. Tak lama
kemudian aku kembali lagi ke tempat semula. Seseorang baru saja beranjak dari
taman, namun ia berlalu begitu cepat. Hanya punggungnnya yang tampak dari
kejauhan lalu perlahan menghilang oleh silaunya matahari pagi. Aku hampir lupa
dengan buku yang aku simpan tadi tepat di sebelah kanan kucing. Aku lalu
mengambilnya lalu pergi dan tak henti-hentinya aku bertanya-tanya tentang sosok
yang sering ke taman itu juga. Mungkinkah ia adalah seseorang yang aku kenal?
Entah kenapa aku selalu berusaha
untuk bersikap biasa-biasa saja. Meskipun sebenarnya rasa penasaran ku sudah
membludak. Aku pkir itu bukanlah sesuatu yang begitu berarti untuk dipikirkan.
Dikarenakan persoalan rutinitas masih banyak yang mengantri di belakang. Jadwal
harian ku mulai memanggil. Jam sekian aku ke kampus untuk melakukan aktivitas
kampus termasuk diantaranya kajian dan ngumpul bersama teman di kanting.
Sesampai di rumah, aku langsung
siap-siap ke kampus. Aku diantar oleh pak Sugiatno. Aku tdak pernah
memanggilnya pak supir karena aku menghargainya sebagai subjek sama sepertiku
yang butuh penghargaan dengan serendah-rendahnya pekerjaan. Karena pada
hakikatnya bukan pekerjaannya yang rendah namun pikirannya orang-orang yang
rendah. Itu pandangan ku ketika melihat seseorang yang memandang remeh orang lain
dari segi pekerjaan.
Demikianlah jadwal harian ku yang
sudah tidak bisa diganggu gugat. Meskipun kadang-kadang ada jadwal yang molor,
aku berusaha agar diisi dengan berkunjung ke perpustakaan pribadiku. Karena
sendiri itu sepi, maka aku mengajak beberapa teman komunitas literasi untuk
berkunjung ke perpustakaan ku. Kemudian berdiskusi mengenai hal yang perlu
didiskusikan.
“Sebuah kritik harusnya
berkontribusi,” kata Rico. Ia berpendapat bahwa terkadang manusia tidak tahu
membedakan antara mengkritik dengan mencelah. Ada yang kritiknya luar biasa
bagus namun tidak berkontribusi atau tidak memberikan solusi. Tidak jarang pula
kita mendapati yang dikritik adalah orang yang tahu apa-apa dan yang dikritik
justru yang tahu apa-apa. Sehingga yang dikritik menjadi tidak lagi dipercaya
dan yang mengkritik justru merasa tinggi hati. Merasa sudah mampu memberikan
pendapatnya meskipun ia sendiri tidak menguasai sesuatu yang dikritik itu
sendiri. Berhubung dosen kami tidak masuk di jam itu, akhirnya diskusi kami
berlangsung cukup lama. Kekososngan yang seperti itulah yang aku seringkali
mengisinya dengan banyak-banyak berdiskusi dengan teman-temanku. Sekalipun
banyak juga jenis kepala dalam diskusi sehingga menimbulkan berbagai bentuk
pergulatan ide-ide pemikiran yang terkonsep dalam pikiran masing-masing. Justru
perbedaan pendapat itu perlu agar tercipta yang namanya pertukaran pikiran
(sharing). Hal itu bukanlah sebuah hal yang membuat kita tepecah. Aku bahkan
pernah mendapat sebuah ungkapan bahwa “itulah tugasnya filsafat, maka dari itu,
sedikit banyaknya kita perlu belajar filsafat, karena tujuan filsafat adalah
sebagai clarifying konsep.” Perdebatan tidak akan berujung jika ternyata konsep
yang ada dalam pikiran kita dengan orang lain berbeda sejak awal. Itulah tugasnya
filsafat, mengklarifikasi konsep agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam
berargumentasi.
Jika kritik itu perlu, maka kritik
itu harus membangun. Kami pun bersepakat bahwa seseorang harus menguasai dengan
baik terkait hal yang ingin dikritik barulah ia mengkritik. Bukan malah
sebaliknya, tidak paham apa-apa malah mengkritik. Sehingga jatuhnya jadi asal
bunyi. Mengkritik tapi ia sendiri tidak tahu tentang apa yang ia kritik.
Ruang kuliah telah menunggu. Aku
masuk kuliah lagi. Kali ini aku tidak lagi terlambat. Aku telah benar-benar
merealisasikan jadwalku yang dulunya hanya sekadar pajangan di dinding kamar.
Kini jadwal harian termasuk jadwal kuliah aku bawa kemana-mana. Sedikit datar
namun itulah aku. Berbeda dengan mereka yang terbiasa mengalokasikan waktunya
khusus untuk sang kekasih mungkin.
“Harus berapa lama lagi gelar
jomblo ini melekat pada diriku ya Allah?” aku berkata demikian di depan gedung
perkuliahan sambil menatap sepasang kekasih yang sedang bergandengan tangan
menuju kantin kampus. Tidak juga sering, namun kadang pikiran demikian datang
menghampiri seolah juga ingin seperti mereka. Namun aku memilih sendiri. Oleh
karenanya teman ku selalu menghiburku dengan “kamu bukan jomblo Rania, tapi
kamu single,” “Jika itu adalah cinta sejati, maka ia akan menemukan jalannya.”
Teman ku yang satu ini memang kaya akan kata-kata puitis yang sampai-sampai
membuatku meleleh sendiri dengan kata-katanya.
Adapun ketika aku menyukai
seseorang, aku memilih untuk menanggungnya sendiri. Kata Rumi “karena dalam
diam aku tak menemukan penolakan.” Sebuah ungkapan yang mungkin akan menjadi
penenang bagi para penggemar rahasia yang takut tertolak. Aku terkadang
berpesan pada diriku sendiri, bahwa
“sendiri itu bahagia, tidak ada beban
pikiran, memiliki sebuah hubungan di luar nikah justru mengundang zina,
ditambah lagi membuat konsentrasi menjadi terganggu, membuang-buang waktu
dengan mengorbangkan ini dan itu apalagi hanya bermodalkan fisik dan semacamnya
padahal belum tentu juga jodoh.”
Buku selalu siap menemani. Pikirku
buku ketika selingkuh tidak akan berefek sakit hati. Bagaimana tidak, kadang
aku sendiri yang membuat ia selingkuh, bahkan rela membuat ia menginap beberapa
malam di kediaman teman ku. Ia diculik pun tidak apa-apa. Asalkan ia dibaca dan
direfleksikan di kehidupan nyata. Barangkali itulah yang akan menjadi
kebahagiaan tersendiri bagi ku. Ternyata aku tidak sendiri.
_Fiction_
SELAMAT HARI BUKU
MasyaAllah memotivasi bgt👍
BalasHapusSaya tunggu kelanjutan ceritanya hahaha
BalasHapusSelamat menanti haha
Hapus