yulitaadriyanti12@gmail .com

Tetap Ada Reward dibalik "Hanya Memberi Tak Harap Kembali"


Menolak Permintaan Tanpa Tawaran

Dalam agama kita diajarkan tentang nilai-nilai kebaikan. Pada umumnya setiap agama memiliki kemiripan anjuran berbuat baik terhadap sesama manusia. Kata seorang mualaf, beberapa agama memiliki kesamaan dari segi tema, yang beda adalah isinya seperti tata cara menjalankan sebuah ajaran. Ada juga beberapa ungkapan yang cukup motivated ditengah-tengah pergumulan kita. Beberapa diantaranya seperti : berbuat baiklah tanpa mengharapkan balasan; tetaplah baik pada orang yang bahkan telah menzhalimimu; jangan jadi orang yang pendendam; jadilah orang yang pemaaf dan seterusnya.

Kita terus saja memikirkan bagaimana menjalin hubungan yang stabil harmonis dengan orang-orang di sekitar kita. Hal ini tidak lain karena kita menyadari bahwa kita adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lain. Banyak pekerjaan atau keinginan-keinginan yang ingin dicapai menjadi terhambat jika saja kita menjadi pribadi yang sangat egois. Dengan kata lain, egois adalah cara paling manjur merugikan diri sendiri.

Apa yang harus dilakukan oleh manusia? Setiap masa tentu saja memiliki kondisi sosialnya masing-masing. Tentu kita juga mengetahui bahwa tidaklah relevan ketika hendak menilai seseorang atau masa orang-orang di masa lalu dengan neraca yang kita pakai saat ini pada kondisi yang jauh berbeda. Pada hakikatnya, eksistensi segala sesuatu di dunia memiliki asbabnya masing-masing. Hanya saja otak kita yang belum mampu atau bahkan tidak pernah mencoba menangkap hikmah dari setiap peristiwa yang terjadi.

Kita bisa saja berpikir bahwa kata-kata semacam berbuat baik tanpa pamrih dan sejenisnya hanya sebatas ongkos (omong kosong) belaka. Cukup banyak yang menggaungkan tapi luput akan penerapan. Banyak juga yang menerapakan mungkin sebagai proses awal sebagai pre-tes dan di ujung jalan ia pun akan menuntut post-test. Memberi namun mengharap kembali.Tidak salah sih. Ini berarti dapat dikategorikan sebagai penganut take and give. Ada juga teori relativitas dari Albert Einstein yang sesuai dengan sistem ini. Hubungan kausalitas pun bekerja. Ada yang bilang itu hukum alam. Teori ini seolah mengatakan “apa yang kamu tawarkan agar saya bisa mewujudkan permintaanmu?”

Di satu sisi kita dituntut untuk berbuat baik tanpa pamrih. Di sisi lain, katanya kita harus ingat kebaikan-kebaikan orang lain terhadap kita. Itu mengindikasikan bahwa segala perbuatan baik harus terbalaskan oleh subjek yang sama, harus tahu diri. Padahal balasan itu kadang-kadang datang dari arah yang tidak terprediksi sama sekali. Allah tidak sebuta itu dalam menilik setiap Hamba yang senantiasa mencari ridho-Nya. Tanpa diminta pun Dia akan memberi. Kita tahu bahwa Allah juga memberi jatah rezeki bahkan kepada manusia yang tidak tahu siapa penciptanya, siapa yang patut disembah.

Setiap perbuatan baik kita bisa saja terbalaskan dengan cara yang berbeda, melalui orang yang berbeda atau dari arah yang berbeda. Lakukan saja hal-hal baik atau kita akan selalu merasa tidak puas dengan keberuntungan-keberuntungan yang kita dapatkan jika saja itu tidak datang dari orang yang kita harapkan.

Barangkali Pengetahuan Berasal dari Kombinasi Tahap-Tahap Ini


Tahapan dan Tingkatan Pengetahuan

     Beberapa ahli ada yang beranggapan bahwa pengetahuan itu hanya diperoleh dengan satu tahap. Pendapat mereka sendiri berbeda-beda. Ada yang mengatakan dengan tahap indrawi saja, rasio saja, bahkan hati saja. Namun apakah benar bahwa pengetahuan hanya bisa diperoleh melalui satu tahap saja? atau mungkinkah ada beberapa tahap yang mesti dilalui dalam memperoleh pengetahuan?

Pandangan yang Berlandaskan Pengetahuan Satu Tahap 
  Pandangan ini meyakini bahwa untuk memperoleh pengetahuan, hanya ada satu tahap. Mereka yang beranggapan bahwa sumber pengetahuan hanya indra. Pandangan ini menjelaskan bahwa indra ini adalah alat untuk memperoleh pengetahuan. Kalaupun rasio turut serta dalam mengelolah apa yang ditangkap oleh indra, maka itu adalah hasil kerja indra terlebih dahulu. Dan, menurut pandangan ini, pengetahuan secara indrawi tidak lain adalah bersifat particular. Bahkan kita tidak bisa membayangkan sesuatu yang bersifat universal dalam artian kita tidak akan pernah membayangkan sesuatu yang tidak pernah kita indrai, maka dari itu yang bersifat universal itu tidak berarti apapun karena universal itu sendiri berasal dari yang particular atau yang sifatnya terbatas yang sudah mengalami proses kehilangan identitas diri. Artinya kita tidak bisa lagi mengetahui tentang apapun jika itu tidak kita sandarkan pada yang sifatnya particular tadi. Pandangan indra ini tidak mengakui fungsi rasio. Pandangan inilah yang kemudian diyakini oleh Descartes.

    Kemudian, contoh yang kedua yaitu yang meyakini bahwa sumber pengetahuan itu hanya satu yaitu rasio. Seperti yang dikatakan oleh Plato bahwa semua pengetahuan hanya bisa diperoleh dari penggunaan rasio (ta'aqqul). Ia menganggap bahwa indra tidak memiliki nilai apapun untuk memberikan pengetahuan. Dan, yang ia anggap pengetahuan pun hanya yang rasional (ma'qul). Begitu pula dengan Bergson dan lain-lain yang meyakini sumber pengetahuan satu tahap. Akan tetapi ia menyakini bahwa sumber pengetahuan itu adalah hati.
 Sebenarnya masing-masing sumber pengetahuan yang mereka yakini adalah benar. Akan tetapi masalah benar atau salahnya pengetahuan yang diperoleh melalui satu tahap yang dimaksud itu belum diketahui. Sehingga kita belum mampu mengklaim bahwa sumber pengetahuan yang mereka yakini adalah benar adanya. Barangkali kita memperoleh pengetahuan melalui kombinasi dari masing-masing tahap hingga kemudian menjadi sumber pengetahuan yang melalui beberapa tahap, bukan hanya satu tahap. Sehingga melahirkan suatu pengetahuan yang benar dengan melalui tahap-tahap tersebut.

Karakteristik Pengetahuan Indrawi
     Pengetahuan indrawi sering juga disebut pengetahuan lahiriah. Semua penget ahuan indrawi adalah bersifat particular (khusus). Sama halnya dengan pengetahuan yang ada pada binatang. Pengetahuan lahiriah yang sifatnya particular (terbatas). Sifatnya dangkal, hanya mengetahui apa saja yang diindrai. Selain itu, pengetahuan indrawi juga hanya mengingat sesuatu yang ada di masa lalu dan hanya bisa membayangkan atau memproyeksi sesuatu di masa depan hanya dari hal-hal yang sifatnya particular. Pengetahuan indrawi juga sifatnya "sekarang." Hal ini berarti manusia hanya mampu mengetahui yang berhubungan dengan waktu sekarang. Manusia tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang dan tidak mengetahui apa yang terjadi pada dirinya saat sebelum lahir hanya dengan memanfaatkan indra itu sendiri yang sifatnya adalah terbatas.

Ruang Lingkup Pengetahuan Rasio
 Tahapan ini merupakan sumber pengetahuan yang sifatnya lebih mendalam dan luas. Karakteristik dari rasio sendiri adalah bersifat keapaan atau biasa disebut dengan esensi dan juga kausalitas atau adanya hubungan sebab akibat. Pengetahuan rasio ini sendiri merupakan hasil transfer dari indra. Adanya hubungan sebab akibat antara pengetahuan lahiriah dengan pengetahuan batiniah atau dalam hal ini adalah rasio, tidak dapat disentuh dan dirasakan. Kecuali hanya bisa mengetahui atau mengindrai urutan-urutan berbagai jenis benda. Sebagai contoh, saya mengetahui bahwa air mendidih sebagai akibat dan sebabnya adalah apinya panas. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa air mendidih karena apinya panas. Kita hanya sebatas mengetahui sebab dan akibat itu sendiri dari segi materialnya. Namun sesuatu yang menghubungkan sebab dan akibat itulah yang tidak bisa disentuh dan dirasakan (tidak dapat diindrai).
     Demikian resume tahapan dan tingkatan pengetahuan yang sempat saya bagikan ke teman-teman. 
Semoga bermanfaat dan dapat menambah wawasan teman-teman.
_Fastabiqul Kaherat_

Silakan tinggalkan Kritik dan saran di komentar.

Alasan Hijrahmu Apa Atau Siapa?


Hijrah Asyik Bergantung Niat

Sejak awal keraguan itu muncul. Bagaimana tidak, dia datang tiba-tiba layaknya pernikahan dua insan yang dijodohkan. Kita tidak saling mengenal sebelumnya. Awalnya was-was. Selalu mau jaga image, jaga citra agar tetap terlihat baik. Rasanya begitu melelahkan seolah ingin pulang ke kediaman semula.

Terikat. Kita hampir lupa kalau kita telah diikat. Meskipun tidak dekat-dekat. Usahanya belum kesampaian. Barangkali kita harus ubah ritme. Cukup jadi diri sendiri tapi dengan cara pergi. Kembali ke garis awal. Dia tersentil tapi tidak terasa bagi yang tidak peka. Tiba-tiba beberapa diantara mereka bertanya  “kamu kemana saja selama ini?” Sedikit tersentuh sebab pertanda rindu itu masih ada. Entah sengaja ataupun tidak, tugas kita hanyalah percaya. Alasan-alasan masih saja tetap merajai. Setidaknya respon itu ada meskipun tidak mengenakkan bagi mereka.

Kemudian, kita berusaha kembali dengan modal pasrah. Kali ini mengikuti alur tapi tidak terbawa arus. Ada yang baru pada fase ini. Sesuatu yang menjadi saingan daripada kediaman yang sekarang. Jauh lebih asyik dan rasanya kemerdekaan benar-benar berada dalam genggaman. Tidak ada batasan dan benar-benar menjadi diri sendiri. Sekadar sesuatu hal yang paling umum yang terpelihara juga di dalamnya. Budaya konteks tinggi. Keharusan menghormati yang lebih tua. Sejak awal bergabung perbedaan mulai terasa. Ada hal menarik yang berhasil kita baca dari setiap situasi yang berbanding terbalik antara frame yang satu dengan yang lain. Di sini have fun, di sana layaknya penjara. 

Sesekali mereka menguji lantaran mengetahui latar belakang sebelumnya kita berada di frame mana. Kita tidak tahu motif mengujinya untuk apa. Apakah loyalitas atau integritas yang dimiliki benar-benar tertanam dalam dirinya seperti yang dibangga-banggakan oleh kebanyakan temannya yang katanya tingkah lakunya seolah manusia suci tanpa dosa. Berjalan dengan angkuhnya di hadapan para kaum minoritas di suatu tempat sebut saja taman bunga revolusi. Kita jadi termenung sesaat setelah melakukan pembelaan. Dalam benak pun bertanya-tanya “kenapa saya melakukan ini?” sambil mencari-cari alasan. Sepertinya kita jadi paham bahwa sesuatu yang baik biasanya banyak yang benci. Bukan karena baiknya tapi karena keberadaannya tersingkir oleh frame mayoritas. Entah ini faktor keberuntungan atau apapun itu. Dia yang baik dia pula yang mayoritas. Meskipun kadang-kadang kita semua beda pandangan dunia di dalamnya. Ada yang mengambil alasan dan tujuan dangkal. Ada pula yang mengambil manfaat yang jauh dan berjangka panjang. Ada yang niatnya terbatas ruang dan waktu. Ada pula yang melampaui ruang dan waktu. 

Berbagai asumsi bermunculan. Apakah dia yang kita kenal awalnya tidak asyik layaknya berada dalam sangkar itu benar-benar buruk atau justru sebaliknya. Kita mencoba untuk melakukan analisis perbandingan. Ternyata masing-masing ada kelebihan. Di sini kelebihan teori. Di sana kelebihan praktik. Kita tidak mau menyebut kelemahan demi menjaga stabilitas perdamaian antara dua unsur yang bertolak. Intinya, keduanya memberi kita banyak pelajaran. Perbatasan gerak kita menjadi tertata rapi kembali.  Barangkali inilah jawaban. Kita berusaha mengenal lawan tandingannya untuk mengenal pemeran utama itu sendiri. Iya, kita sedang memosisikan sesuatu yang serba tidak menyenangkan itu sebagai karakter utama. Kita ketahui puncak daripada ilmu ada pada pengamalannya. Dari sini mulai terbersit apa yang sebelumnya tidak kasat mata yang menjadikan biasa-biasa saja. Tidak menyenangkan dan terkesan memaksa. Di tempat lain kita meyakinkan diri. Katanya keyakinan bermula dari ragu. Uniknya kita mempelajari sesuatu di tempat lain dan justru menjadikannya alat untuk mengenal frame membosankan itu. Hal yang paling melekat di otak kita adalah perubahan yang kita ciptakan sendiri sebab terpacunya keinginan untuk setara dengan mereka. Mereka adalah orang-orang giat melakukan pengkajian. Dominan menggunakan logika sehingga tidak jarang kita menemukan perdebatan-perdebatan sampai hal-hal yang tidak perlu untuk diperdebatkan. Sekadar menguji dengan menggunakan logika terbalik. Semuanya kita santap dengan lahap. Urusan benar atau salah, tercapai atau tidaknya tujuan dari perdebatan urusan belakang. Esensinya adalah bagaimana kita dapat menyusun argumen selogis mungkin. Sekalipun tidak logis-logis amat, oops!

Sesuatu menjadi bergeser dari tempatnya. Alasan-alasan mengapa tempat ini begitu asyik. Tentu saja diantaranya ialah kita tidak banyak mendapat kritik untuk hal-hal yang sifatnya eksistensi (terlihat). Tidak membatasi pergaulan ini dengan itu dan hal-hal menyenangkan lainnya bagi sebagian besar orang. Ahh sudahlah!! Sepertinya niat untuk berpindah ke lain hati jadi runyam. Setidaknya kita mulai diperlihatkan sisi yang terbalik. Situasinya menjadi terbalik. 

Di sisi lain, kita punya pribadi yang hanya tumbuh jiwa-jiwa penurutnya jika yang meminta adalah orang-orang yang jujur atau disegani. Intinya, masih banyak sisi yang belum terdeteksi mengapa niat awal ingin menghindar. Tapi Itu pulalah yang menjadikan banyak alasan untuk kembali. Sangat tidak terprediksi. Itulah kita yang selalu mengharapkan manusia sesuai dengan ekspektasi. Lambat laun kita menjadi tersadar ujungnya apa? Kecewa sehingga ingin meninggalkan. Padahal kita berkenalan pun belum. Hal ini juga menjadi alasan sesuatu menjadi bersifat sementara. Niatnya masih ambur adul. Wajar. Orang setingkat loyalitas yang tinggi saja kadang imannya naik turun apalagi orang yang masih tergolong baru. Maklum. 

Buat sesuatu yang disebut “niat.” Bila saja Tuhan menciptakan pengawet khusus untuk itu. Barangkali tidak ada lagi iman yang naik turun atau setiap kali naik level saat itu juga diberi pengawet bergantung level dan tidak akan pernah turun lagi. Ibarat sebuah cerita dengan alur majunya. Tenang. Jika kamu masih merasa diri belum pantas berada di dalam lingkaran itu. Dunia itu dinamis. Tapi masih saja sesuatu mengasyikkan manakala dilakukan berdasarkan keinginan tanpa paksaan dari pihak luar. Tapi apakah takaran asyik itu juga yang menjadi tolok ukur baiknya sesuatu. Tidak sama sekali. Tuhan pun mengatakan belum tentu yang terlihat baik itu benar-benar baik, demikian pula sebaliknya. Hijrah kita kini menjadi pembeda dengan yang lain. Niat konyol mereka menjadikan hijrah jangka pendek. Berada jauh dari alasan dan tujuan awalnya menjadikannya berubah 180°. Asyiknya hijrah ternyata bergantung niat. Kembali ke frame membosankan tadi. Hal yang paling melekat dan membuat kita terpacu untuk memperbaiki niat, adanya ungkapan seseorang “kita adalah orang-orang yang paling berpotensi menjadi munafik.” Kita harusnya tidak terima dengan menunjukkan pembuktian-pembuktian. Bukan malah melawan arus alias membenarkan pernyataan  orang ini.

Kembali ke niat. Ia bahkan dituliskan dengan tinta hitam di atas putih. Bahkan dia dimodifikasi sedemikian rupa membuat kita bergairah untuk melihatnya. Penuh dengan kata-kata manis. Seolah menyisakan harapan-harapan di masa mendatang. Selayaknya ada keberhasilan mengubah yang awalnya brutal menjadi versi terbaik di hadapan Tuhan. Sesekali kita berpikir, alangkah memilukan dan memalukan diri sendiri yang meninggalkan tempat membosankan yang penuh rintangan namun tersedia banyak ladang amal di dalamnya,  lalu nilai-nilai yang sempat berhasil dipetik pun tidak berbekas sama sekali. Allah Maha pengampun, Maha penyayang. Jika banyak jalan menuju Roma. Allah juga menyediakan banyak jalan menuju pintu taubatnya. Asalkan kita sadar bahwa kita bukan malaikat yang tanpa nafsu yang tentu saja tidak luput dari segala khilaf. Untungnya kita masih berkeyakinan bahwa niat awal yang belok masih dapat berubah seiring berjalannya waktu. Seseorang pernah mengatakan “jika kamu mencintai impianmu (tujuanmu), maka kamu haruslah lebih mencintai prosesnya.”

Mata jeli melihat celah satu orang tapi tidak memburamkan kebaikan beberapa orang. Sebagian mereka memilih untuk tidak menutup gendang telinganya karena mereka sadar mereka hidup pada lingkup gerakan amar ma'ruf nahi munkar. Bukan semata membangun hablumminannas yang menjadikan hijrah tanpa makna dan memiliki tenggang waktu. Jadilah mendengar bukan sekadar mendengarkan.

Keep Istiqomah
_Fastabiqul Khairat_




Modifikasi Gudang Menjadi Kejutan

Buku Pintu Diskusi



                 
          Membaca bukanlah sebuah rutinitas baru bagiku. Akan tetapi bergabung dalam sebuah komunitas literasi, aku mulai memiliki rutinitas baru di luar kuliah yaitu kajian. Hampir setiap hari setelah selesai kuliah aku menyempatkan diri untuk berdi
skusi dengan teman komunitasku. Pro dan kontra pun mewarnai diskusi kami. Pembahasan kami akhirnya sampai pada sebuah buku yang yang berjudul dialektika. Dialektika menurut salah satu ahli. Seseorang diantara kami mengatakan “dialektika itu adalah suatu keadaan dimana realitas kehidupan menutut kreativitas baru dari manusia.” Kemudian yang satunya lagi mengatakan “dialektika itu merupakan suatu keadaan dimana manusia mulai sadar tentang fungsi sesuatu benda dan semacamnya tidak lagi sejalan dengan apa yang ada dalam pikiran manusia.”
           “Aku sepakat dengan hal itu, aku berpikir bahwa Laptop, Hp, kendaraan dan lain-lain yang diproduksi adalah merupakan hasil dialektika yang dilakukan oleh beberapa orang,” kataku yang menambahkan pendapat teman ku. Sehingga manusia terus menerus berpikir bagaimana membuat produk yang akan lebih dan lebih memudahkan manusia dalam segala aktivitasnya dengan kecanggihan teknologi yang ada. Bagaimana pun caranya manusia selalu menuntut agar tercipta realitas baru dari kreativitas baru manusia itu sendiri.
          Aku begitu antusias berpendapat hingga aku tersadar bahwa aku sendiri ternyata selalu menyalahkan pendapat teman ku, aku selalu menyatakan “bukan begitu” kataku. Hanya sesekali aku sepakat dengan pendapat teman ku. Padahal kalau dipikir-pikir mereka jauh melampaui jumlah buku yang mereka baca. Pada saat itu aku baru membaca beberapa buku. Masih kurang dari sepuluh. Akan tetapi, dengan begitu angkuhnya aku mulai menentang teman-teman ku. Aku seperti orang yang sudah paling tahu di setiap perkumpulan baik dalam keluarga, teman kuliah maupun dengan teman komunitas literasi ku. Padahal bukan begitu sikap yang sebenarnya ditunjukkan oleh orang yang bijak. Aku pun berpikir bahwa seharusnya seseorang apabila semakin berilmu maka dia akan semakin bijak. Apapun yang dihadapinya termasuk dalam hal berpendapat. Tugasnya orang berilmu bukan hanya membenarkan pendapat sendiri dengan selalu melakukan pembelaan yang dibumbui dengan apologi. Tatapi orang yang luas wawasannya justru malah selalu menerima setiap masukan yang datang kepadanya dan bukan menolak apalagi meyalahkan sedikit pun. Itu hasil renungan ku di malam hari menjelang dunia mimpi menyapa.
            Keesokan harinya, aku ke taman membawa makanan untuk kucing. Setelah sekian lama, akhirnya ia kembali menggoreskan tulisan di papan tulis. “apa kabar?”
Aku pun membalasnya “baik, nama kamu siapa?” aku pun lekas beranjak dari taman itu. Tak lama kemudian aku kembali lagi ke tempat semula. Seseorang baru saja beranjak dari taman, namun ia berlalu begitu cepat. Hanya punggungnnya yang tampak dari kejauhan lalu perlahan menghilang oleh silaunya matahari pagi. Aku hampir lupa dengan buku yang aku simpan tadi tepat di sebelah kanan kucing. Aku lalu mengambilnya lalu pergi dan tak henti-hentinya aku bertanya-tanya tentang sosok yang sering ke taman itu juga. Mungkinkah ia adalah seseorang yang aku kenal?
               Entah kenapa aku selalu berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja. Meskipun sebenarnya rasa penasaran ku sudah membludak. Aku pkir itu bukanlah sesuatu yang begitu berarti untuk dipikirkan. Dikarenakan persoalan rutinitas masih banyak yang mengantri di belakang. Jadwal harian ku mulai memanggil. Jam sekian aku ke kampus untuk melakukan aktivitas kampus termasuk diantaranya kajian dan ngumpul bersama teman di kanting.
             Sesampai di rumah, aku langsung siap-siap ke kampus. Aku diantar oleh pak Sugiatno. Aku tdak pernah memanggilnya pak supir karena aku menghargainya sebagai subjek sama sepertiku yang butuh penghargaan dengan serendah-rendahnya pekerjaan. Karena pada hakikatnya bukan pekerjaannya yang rendah namun pikirannya orang-orang yang rendah. Itu pandangan ku ketika melihat seseorang yang memandang remeh orang lain dari segi pekerjaan.
              Demikianlah jadwal harian ku yang sudah tidak bisa diganggu gugat. Meskipun kadang-kadang ada jadwal yang molor, aku berusaha agar diisi dengan berkunjung ke perpustakaan pribadiku. Karena sendiri itu sepi, maka aku mengajak beberapa teman komunitas literasi untuk berkunjung ke perpustakaan ku. Kemudian berdiskusi mengenai hal yang perlu didiskusikan.
              “Sebuah kritik harusnya berkontribusi,” kata Rico. Ia berpendapat bahwa terkadang manusia tidak tahu membedakan antara mengkritik dengan mencelah. Ada yang kritiknya luar biasa bagus namun tidak berkontribusi atau tidak memberikan solusi. Tidak jarang pula kita mendapati yang dikritik adalah orang yang tahu apa-apa dan yang dikritik justru yang tahu apa-apa. Sehingga yang dikritik menjadi tidak lagi dipercaya dan yang mengkritik justru merasa tinggi hati. Merasa sudah mampu memberikan pendapatnya meskipun ia sendiri tidak menguasai sesuatu yang dikritik itu sendiri. Berhubung dosen kami tidak masuk di jam itu, akhirnya diskusi kami berlangsung cukup lama. Kekososngan yang seperti itulah yang aku seringkali mengisinya dengan banyak-banyak berdiskusi dengan teman-temanku. Sekalipun banyak juga jenis kepala dalam diskusi sehingga menimbulkan berbagai bentuk pergulatan ide-ide pemikiran yang terkonsep dalam pikiran masing-masing. Justru perbedaan pendapat itu perlu agar tercipta yang namanya pertukaran pikiran (sharing). Hal itu bukanlah sebuah hal yang membuat kita tepecah. Aku bahkan pernah mendapat sebuah ungkapan bahwa “itulah tugasnya filsafat, maka dari itu, sedikit banyaknya kita perlu belajar filsafat, karena tujuan filsafat adalah sebagai clarifying konsep.” Perdebatan tidak akan berujung jika ternyata konsep yang ada dalam pikiran kita dengan orang lain berbeda sejak awal. Itulah tugasnya filsafat, mengklarifikasi konsep agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam berargumentasi.
             Jika kritik itu perlu, maka kritik itu harus membangun. Kami pun bersepakat bahwa seseorang harus menguasai dengan baik terkait hal yang ingin dikritik barulah ia mengkritik. Bukan malah sebaliknya, tidak paham apa-apa malah mengkritik. Sehingga jatuhnya jadi asal bunyi. Mengkritik tapi ia sendiri tidak tahu tentang apa yang ia kritik.
              Ruang kuliah telah menunggu. Aku masuk kuliah lagi. Kali ini aku tidak lagi terlambat. Aku telah benar-benar merealisasikan jadwalku yang dulunya hanya sekadar pajangan di dinding kamar. Kini jadwal harian termasuk jadwal kuliah aku bawa kemana-mana. Sedikit datar namun itulah aku. Berbeda dengan mereka yang terbiasa mengalokasikan waktunya khusus untuk sang kekasih mungkin.
            “Harus berapa lama lagi gelar jomblo ini melekat pada diriku ya Allah?” aku berkata demikian di depan gedung perkuliahan sambil menatap sepasang kekasih yang sedang bergandengan tangan menuju kantin kampus. Tidak juga sering, namun kadang pikiran demikian datang menghampiri seolah juga ingin seperti mereka. Namun aku memilih sendiri. Oleh karenanya teman ku selalu menghiburku dengan “kamu bukan jomblo Rania, tapi kamu single,” “Jika itu adalah cinta sejati, maka ia akan menemukan jalannya.” Teman ku yang satu ini memang kaya akan kata-kata puitis yang sampai-sampai membuatku meleleh sendiri dengan kata-katanya.
              Adapun ketika aku menyukai seseorang, aku memilih untuk menanggungnya sendiri. Kata Rumi “karena dalam diam aku tak menemukan penolakan.” Sebuah ungkapan yang mungkin akan menjadi penenang bagi para penggemar rahasia yang takut tertolak. Aku terkadang berpesan pada diriku sendiri, bahwa
          “sendiri itu bahagia, tidak ada beban pikiran, memiliki sebuah hubungan di luar nikah justru mengundang zina, ditambah lagi membuat konsentrasi menjadi terganggu, membuang-buang waktu dengan mengorbangkan ini dan itu apalagi hanya bermodalkan fisik dan semacamnya padahal belum tentu juga jodoh.”
           Buku selalu siap menemani. Pikirku buku ketika selingkuh tidak akan berefek sakit hati. Bagaimana tidak, kadang aku sendiri yang membuat ia selingkuh, bahkan rela membuat ia menginap beberapa malam di kediaman teman ku. Ia diculik pun tidak apa-apa. Asalkan ia dibaca dan direfleksikan di kehidupan nyata. Barangkali itulah yang akan menjadi kebahagiaan tersendiri bagi ku. Ternyata aku tidak sendiri.
                       



_Fiction_


SELAMAT HARI BUKU 





Pemimpin, Islam dan Pluralisme Nusantara

Indonesia adalah suatu negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Secara kuantitatif, negara ini menang dalam hal penduduk beragama islam. Mengalahkan agama-agama besar yang sudah berabad-abad lamanya dianut oleh bangsa Indonesia yaitu Hindu dan Budha. Oleh karena bangsa Indonesia adalah mayoritas beragama Islam, maka seringkali ia disebut sebagai Indonesia Islam atau negara Islam. Penyebaran islam pun berawal dari adanya aktivitas perdagangan antarnegara. Dakwah-dakwah yang disertakan pada aktivitas perdagangan lintas benua ini pun berlangsung sejak abad 15/16. Penyebarluasan islam sangatlah pesat hingga ke berbagai pulau yang ada di negara yang disebut juga negara maritim. Islam pun sejak awal penyebarannya dilakukan melalui pendekatan budaya. Maka dari itu, tidak heran jika budaya-budaya warisan agama terdahulu seperti animisme dan dinamisme masih terbawa sampai hari ini. Pendekatan budaya ini pun dilakukan agar islam diterima secara damai. Bukan sebagai agama yang memaksa terhadap masyarakat agar menjadi penganutnya. Islam berkembang tanpa menghilangkan kultur yang sudah sejak lama menjadi kebiasaan mereka.

Terlepas dari itu, Indonesia yang berlandaskan ideologi pancasila sudah semestinya beriringan dengan islam itu sendiri dalam mewujudkan sila-silanya. Pancasila yang dicetuskan oleh Presiden pertama kita Ir. Soekarno, ada dua sila yang sampai hari ini kita masih membohonginya. Tidak jarang orang yang mengabaikan sila kedua dan kelima pancasila. Kemanusiaan yang dikatakan adil dan beradab sampai hari ini masih menjadi kata kiasan yang imajinatif. Keadilan sosial yang ditujukan bagi seluruh rakyat Indonesia, pada kenyataannya masih memilah yang mana patut diadili dan yang mana tidak mesti diadili. Keadilan yang didengung-dengungkan seolah dibuat hanya sebatas pemanis atau penghibur di telinga masyarakat semata. Alangkah tidak eloknya ketika apa yang diperjuangangkan oleh para pahlawan pendiri bangsa ini kita sia-siakan bahkan terabaikan. Peranan pemuda pasca kemerdekaan semakin menciut jika diperhatikan sampai hari ini. Padahal kita tinggal mengisi kemerdekaan dengan bertarung tanpa menumpahkan darah seperti pada era kolonialisme dahulu. Kita hanya perlu memberikan dedikasi kita terhadap negara dengan berlaku adil mulai dari hal-hal terkecil sekalipun.

Sekilas kita melirik sejarah perjuangan para pahlawan pendiri bangsa Indonesia, mulai dari pencetusan nama bangsa Indonesia yang semula adalah atas nama Hindia Belanda yang menandakan sebagai negara jajahan Belanda. Ternyata kebanyakan diantara mereka adalah jebolan pendidikan Belanda pada saat itu. Mereka tidak lain diberi kesempatan mengenyam pendidikan hanya untuk menghasilkan tenaga-tenaga pegawai pribumi rendadan. Akan tetapi, melalui pendidikan tersebut justru timbul ambisi untuk memerdekakan bangsa Indonesia. Kemudian pencetusan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia dibuat agar kita tidak lagi memakai bahasa asing bahasa Belanda pada saat itu. Hal ini membuktikan bahwa menurut Muh. Yamin, tidaklah dikatakan merdeka jika dari segi bahasa pun kita masih dikuasai oleh bangsa asing. Jika saja kita memakai bahasa Belanda sampai hari ini, tidak menutup kemungkinan persepsi negara lain akan memandang bahwa kita adalah bagian dari mereka sehingga mulai dari kultur akan secara otomatis mengikut pada budaya negara Eropa tersebut. Mereka begitu gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan. Lebih menariknya mereka saling bahu membahu mendirikan bangsa ini di dalam banyaknya perbedaan diantara mereka seperti halnya perbedaan suku, agama, bahasa dan sebagainya. Namun hanya ada satu tujuan mulia yang ingin mereka capai yaitu kemerdekaan Indonesia.

Berbagai organisasi lahir dalam rangka memperjuangkan bangsa Indonesia. Termasuk diantaranya organisasi islam dan organisasi pertama di Indonesia adalah Budi Utomo, kemudian organisasi lainnya yang lahir setelahnya seperti SI, PI, Muhammadiyah, Al-Irsyad dan masih banyak lagi. Sebuah pemandangan yang begitu diharapkan di era sekarang ini. Dimana keberagaman bukanlah sebuah penghalang atau penyebab timbulnya perselisihan. Keadilan bukan hanya berbicara seputar di mana keadilannya pemerintah. Tetapi berawal dari hal-hal kecil, kita mesti memperbaikinya. Belum berangkat ke ranah perbedaan agama. Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim sendiri terdiri dari berbagai golongan atau organisasi masyarakat khususnya di bidang sosio kultural keagamaan. Hal ini selalu menjadi perbincangan yang cukup tidak ada habisnya sampai pada hari ini, lantaran klaim-klaim yang merasa paling benar masih saja terjadi di kalangan masyarakat muslim yang notabenenya adalah sesama umat muslim. Para penguasa pun demikian banyaknya yang mengaku beragama namun mereka telah menjual ayat-ayat Al-Qur'an sebagai pembenaran dari sistem kepemimpinan yang dilakukannya. Banyak diantara mereka yang mengaku bergama namun tidak cukup memiliki jiwa egalitarian.

Bangsa ini tetap akan jalan di tempat jika saja perbedaan selalu dibesar-besarkan. Tidak ada perbedaan yang cukup kontras jika saja jiwa toleran ada pada masing-masing individu. Karena sejatinya perubahan dimulai dari hal-hal kecil, maka dari itu cita-cita untuk melakukan perubahan justru haruslah dimulai dari diri masing-masing. Adapun ketika jiwa toleran sudah tertanam dalam diri setiap individu, jiwa egalitarian pun turut menunjang pemikiran setiap individu untuk menghargai sebuah perbedaan yang ada. Orang-orang yang memiliki jiwa egalitarian adalah orang-orang yang tidak memandang latar belakang orang lain. Baik dari segi kedudukan atau jabatan, keturunan, suku dan sebagainya. Dengan demikian, hukum akan dapat ditegakkan tanpa memandang status sosial, jabatan, dan segala sesuatu yang bersifat materi lainnya. Ketika kita melihat dari sisi keagamaan, dalam islam juga mengajarkan kita agar menanamkan perilaku terpuji yaitu toleransi.

Sadar tidak sadar, segala yang diperjuangkan orang-orang sampai hari ini tidak lain hanyalah materi. Orang-orang seperti ini biasa juga disebut orang yang materialistis. Di manapun dan kapan pun sebuah peristiwa terjadi, ketika telah diproses di rana hukum, kebanyakan diantara mereka bukan bertarung persoalan siapa benar siapa salah secara hukum. Tetapi mereka bertarung persoalan siapa menang siapa kalah. Dengan mengandalkan sekutu ini dan sekutu itu, orang-orang bisa menjadi salah di hadapan publik dikarenakan pemenangnya adalah mereka-mereka yang mengandalkan materi. Tidak jarang kita menjumpai kisah-kisah sedramatis ini. Siapapun yang bermateri bisa saja menang meskipun sebenarnya ia salah secara hukum dan siapapun yang tidak punya sekutu atau materi apapun bisa saja kalah karena ia telah disalahkan secara terpaksa oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dan tidak profesional dengan jabatan yang diembannya. Hal ini terjadi karena tidak adanya ketegasan dalam diri masing-masing untuk melawan egoisme yang merenggut jiwanya. Dimana mereka adalah keluarga, disitulah mereka akan bermain dengan jabatannya. Dimana mereka mempunyai materi, disitulah mereka akan melakukan tindakan sogok menyogok. Dimana mereka mempunyai kekuasaan, lantas ketika orang yang berwenang di rana hukum ini tidak melaksanakan keinginan orang yang bersalah ini, maka jabatannya akan terancam. Mau tidak mau, karena orang ini dalam hidupnya tujuannya hanya sebatas materi sehingga ia harus menelan liur untuk mengambil tindakan tidak adil terhadap pihak-pihak yang tidak mampu lagi berkutip kecuali hanya bersandar pada kebenaran yang ada. Orang-orang berkuasa ini tidak lain hanya pantas disebut boneka yang bisa diremot sana sini kapan dan di mana pun berada. Saya katakan ini terjadi karena sebagian besar diantara kita masih memandang latar belakang seseorang baik status sosial, keturunan, jabatan dan lainnya atau tidak adanya penanaman jiwa egalitarian dalam diri masing-masing. Sehingga perbedaan di tengah-tengah kita seolah menjadi faktor perselisihan antara golongan satu dengan golongan lainnya. Padahal perselisihan itu justru terjadi karena tidak adanya perasaan saling menghargai satu sama lain.

Terdapat sebuah kisah yang cukup bisa kita mengambil pelajaran dari seorang mantan presiden keempat Indonesia yaitu Pak Abdurrahman Wahid atau yang kerap dipanggil Gus Dur. Seorang tokoh pluralisme yang memiliki prinsip berpegang teguh pada keadilan dan keharusan adanya kesadaran melakukan perubahan-perubahan. Beliau mengajarkan kita untuk tetap bersandar pada keadilan apapun resikonya. Ketika beliau resmi menjadi presiden terpilih, beberapa kawannya justru menjauh darinya agar tidak terjadi yang namanya bias. Salah satu diantaranya adalah Gus Mus. Beliau justru mengucapkan bela sungkawa atas terpilihnya Gus Dur sebagai presiden. Beberapa kawannya ini termasuk budayawan W.S. Rendra turut menjauh justru sebagai bentuk dukungan mereka agar tidak terjadi bias setelahnya. Beliau karena berpegang pada prinsipnya yaitu keadilan membuatnya tidak pernah melakukan kompromi dalam situasi bagaimanapun. Termasuk ketika ia hendak dilengserkan jadi jabatannya. Dikarenakan beberapa faktor yang sebenarnya hanyalah bentuk kesalah pahaman. Beberapa orang menyangka beliau hanya membela kaum minoritas. Tetapi pada hakikatnya demikianlah cara beliau mendemokrasikan Islam sebagai rahmatallil 'alamin. Dengan cara ia mengayomi kaum-kaum minoritas tanpa melihat perbedaan agama khususnya, ia telah menjadikan politik sebagai jalan untuk mewujudkan istilah "kemanusiaan" sesuai dengan sila-sila pancasila yang kemudian kerap disebut olehnya sebagai "politik kemanusiaan." Posisinya sebagai presiden saat itu bukanlah hal yang sulit bagi beliau untuk mempertahankannya. Tetapi karena ia tidak mau melakukan kompromi yang pada saat itu beberapa pihak telah memberikan suatu tawaran untuk menyapu bersih parlemen agar ia tetap pada jabatannya, akhirnya ia lebih memilih mundur dari jabatannya. Sebab menurut beliau, perpecahan akan terjadi ketika ia tetap pada posisinya sebagai presiden. Dan, ternyata keadilannya terbukti pada saat itu. Yaitu ketika pasca tawaran itu datang kepadanya, ia justru memerintahkan agar orang-orang tersebut ditangkap. Kemudian bukti keadilan dan humanisnya seorang Gus Dur juga terlihat ketika ia menjadikan agama Konghucu sebagai agama resmi diakui oleh negara pada tahun 2000 silam. Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak hanya membela kaum mayoritas dalam hal ini islam, tetapi ia juga mengayomi para kaum minoritas dalam hal ini agama lain yang dianut oleh sebagian kecil rakyat Indonesia. Selain itu, beliau juga merupakan pemimpin yang selalu menggunakan pendekatan-pendekatan humanis dalam menyelesaikan sebuah persoalan terkait perbedaan-perbedaan diantara masyarakatnya seperti suku, agama, ras dan sebagainya. Dia begitu paham dengan bangsa ini yang serba serbi (plural).

Baginya islam itu adalah sebuah jalan damai. Tidak boleh ada perpecahan di dalamnya. Dari sini kita melihat betapa tingginya jiwa toleran yang ada pada sosok pemimpin yang satu ini. Hal ini membuat ia dibenci oleh kalangan mayoritas dan disukai oleh kalangan minoritas pada saat itu. Akan tetapi, saat ini banyak yang meneladani jiwa pemimpin beliau baik dari segi Islam Nusantaranya maupun berbagai jenis isu-isu lainnya terkait dengan demokrasi. Ia menampilkan islam di Nusantara yang mayoritas bukan sebagai jalan untuk mengkerdilkan kaum-kaum tertindas (minoritas). Ia benar-benar menunjukkan Islam sebagai rahmat bagi semesta. Sedikit mengutip potongan puisi salah seorang anak perempuannya di salah satu acara TV yaitu Mata Najwa.

"Bagaimana mungkin engkau memimpin dengan kondisi buta, sedangkan kami saja yang memiliki penglihatan yang normal masih seringkali tidak tahu membedakan antara benar dan salah."

Tetapi kata putrinya, justru dia yang buta lebih terbuka mata batinnya. Sosok yang mengajarkan kita bagaimana demokrasi harus ditegakkan, bagaimana jiwa toleran yang harus ditanamkan, dan bagaimana mewujudkan kemanusiaan yang berpatokan pada prinsip keadilan. Perbedaan yang kini berhasil membuat sekat diantara berbagai golongan. Perbedaan yang seolah menjadi alasan terpecahnya atau terjadinya berbagai tindak kekerasan, dan alasan untuk tidak lagi berjalan beriringan. Perbedaan kini telah menjadi tombak untuk menebar kebencian yang berujung perpecahan. Oleh sebab itu, sosok pemimpin seperti Gus Dur adalah pemimpin yang dapat dicontoh oleh pemimpin-pemimpin masa depan. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lainnya. Seorang pemimpin yang jujur, demokratis, toleran dan berjiwa humanis. Demikian cara-cara Gus Dur dalam memimpin bangsa yang masih dan akan tetap relevan dengan perkembangan zaman di masa yang akan datang.

Menyingkap Teori Barat yang Mengajarkan Tauhid


http://www.yulitaadriyanti12345.com, di antara tag <head> dan </head>

SALIN KODE
Tidak tahu apa yang harus dilakukan? Kunjungi Pusat Bantuan kami.
Sembunyikan Kode

Bismillahirrahmanirrahim.

Bukti Keterbatasan Manusia

      Terdapat ungkapan yang mengatakan "kenali dirimu, maka kau akan mengenal Tuhanmu". Tiada petunjuk yang akan sampai kepada manusia ketika ia tidak mencarinya. Dari ungkapan tersebut seharusnya kita terdorong untuk mencari tahu segala yang berkaitan dengan diri kita. Dan, tidak ada pula landasan yang terbaik diantara yang terbaik untuk mencari petunjuk tersebut yaitu Al-Qur'anul qarim. Mencari kebenaran pun pada dasarnya kita tidak harus menjadi sarjana filosofi dan agama terlebih dahulu. Mencari kebenaran adalah hal yang tidak bisa dibatasi untuk manusia melakukannya terus menerus hingga waktu yang tidak ditentukan. Bahkan beberapa teori barat yang mengajarkan kita sendiri tentang adanya Tuhan akan terjawab oleh Al-qur'an. Beberapa teori tersebut diantaranya:

   Pertama, Teori Relatifitas (Einstein), teori ini menjelaskan bahwa dunia (bumi) terbatas oleh   empat dimensi yaitu ruang, waktu, daya, dan guna. Teori ini menjelaskan bahwa alam raya terbatas. Sehingga apabila terdapat pertanyaan seperti: "di mana Tuhanmu?", maka jawabannya adalah karena alam raya terbatas oleh dimensi ruang maka kita tidak bisa melihat Tuhan itu sendiri. Yang mana Tuhan itu adalah tidak terbatas. Kemudian pertanyaan berikutnya "kapan?",maka itu terbatas oleh dimensi waktu. pertanyaan "bagaimana?", maka itu terbatas dimensi wujud dan daya. Maka dari itu alam raya yang terbatas dan Tuhan (Allah) itu tak terbatas.
Teori pun terjawab dalam surah yang pendek, padat dan mengandung bobot tauhid yang luar biasa yaitu Qs. Al-ikhlas yang artinya "(Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu yang setara dengan dia". Ayat ini telah menjelaskan bahwa Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, terlebih lagi tidak ada yg bisa menyetrainya atau menyerupainya. Sehingga manakala kita ingin melihat Tuhan itu mustahil. Bahkan sekalipun kita mempertuhankan yang nampak, maka ia bukanlah Tuhan yang sebenarnya. Sebab segala sesuatu yang terdapat di alam raya adalah terbatas sedangkan Allah itu tak terbatas. Dijelaskan pula dalam Qs. Ar-rahman bahwa semuanya adalah fana kecuali Allah pengatur alam semesta yang baqaa (kekal). 

      Selain itu, di dalam Al-qur'an juga telah diabadikan kisah Fir'aun manakala ia berkata kepada Nabi Musa bahwa ia tidak akan menyembah Tuhannya Musa sampai ia melihat dengan mata kepalanya sendiri (Qs. Al-baqarah: 55). Fir'aun mengatakan demikian, Padahal mata itu terbatas. Dalam ilmu epistemologi pun menjelaskan bahwa mata adalah instrumen yang selalu melakukan kesalahan. Sehingga kita tidak perlu menyombongkan segala sesuatu yang terlihat oleh mata. Karena sesuatu yang diraih dengan instrumen yang terbatas maka apa yang diraih itupun adalah bersifat terbatas. Berarti manusia itu terbatas, alam itu terbatas, dan hanya Allah yang mutlak tak terbatas.

  Kedua, Teori Non Ahtomatics, menjelaskan bahwa segala yang terjadi tidak serta merta atau bukanlah kebetulan. Dengan kata lain tidak ada sesuatu pun yang terjadi tanpa sebab. Bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi secara otomatis. Dimana ada akibat pasti ada sebab. Teori ini pula yang menjelaskan adanya pencipta alam raya. Tidak mungkin alam raya terjadi begitu saja tanpa ada yang menyebabkan adanya alam raya, dalam hal ini pencipta "who is the creator"?

      Sedikit mengungkit sejarah Nabi Ibrahim yang diabadikan dalam Qs. Al-an'am: 75-79 tentang Ibrahim yang mencari tuhan. Ketika ia melihat bintang dan mengatakan "inilah Tuhanku", akan tetapi bintang itu menghilang ketika menjelang subuh. Sehingga Nabi Ibrahim pun berkata "aku tidak suka tuhan yang terbatas". Kemudian ketika melihat bulan ia kembali mengatakan hal yang sama. Akan tetapi sama halnya dengan bintang, bulan menghilang ketika menjelang subuh. Ketika melihat matahari, ia mengatakan hal yang sama, "yang ini lebih besar, barang kali inilah tuhanku". Akan tetapi matahari menghilang menjelang malam. Di sinilah Ibrahim pun mengatakan kepada Allah "seandainya engkau ya Allah tidak memberi kami petunjuk, niscaya kami akan menjadi kaum yang sesat". Kata Allah dalam surah iftitah "wajahkan wajahmu kepadaku wahai Ibrahim, akulah (Allah) pencipta langit dan bumi". Maka ketika kita meyakini bahwa alam raya tidak terjadi begitu saja, berarti sudah semestinya meyakini bahwa Allah adalah penciptanya. Akan tetapi, sampai di sini saya yakin, bahwa pertanyaan akan kembali muncul tentang siapa dan di mana Tuhan itu berada. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki manusia, manusia tidak akan mampu mengindrai yang namanya Tuhan (Allah).

      Demikianlah pertanyaan-pertanyaan nakal yang dilontarkan oleh kaum penganut paham materialisme, sekulerisme, hedonisme dan sebagainya. Yang hanya percaya pada sesuatu yang nampak atau bersifat material. Seorang professor mengatakan "semakin maju zaman, semakin tinggi peradaban dan kebudayaan manusia, semakin luas pula otoritas intelektual manusia". Lambat laun tapi pasti, manusia kemudian berlomba-lomba meninggalkan agama. Hal ini dikarenakan agama menurut anggapan mereka tidak lagi dapat menjawab kebutuhan ummat manusia dan tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman.

      Teori non automatics inilah yang justru telah menjawab atau menggugurkan teori atheis. Yang katanya tak bertuhan. Namun pada hakikatnya ia bertuhan yaitu mempertuhankan akalnya, yang sebenarnya akalnya pun tidak sanggup dijangkau oleh matanya yang terbatas.

   Ketiga, Teori The Most yaitu paling, ter-, dan sebagainya. Sebagai contoh: mulia, paling mulia, termulia. Teori ini menjelaskan bahwa pasti ada kebenaran objek diantara kebenaran subjektif. Pasti ada agama diantara gama-gama.

      Teori ini terjawab dalam surah yang pendek yaitu surah Al-ikhlas yang artinya "katakanlah (Muhammad), dialah (Allah) yang Maha Esa. Kata "ahad" di sini tidak hanya bermakna satu karena satu itu berjumlah, berkali, berbagi, berkurang. Akan tetapi, kata "ahad" bermakna esa (tunggal).
 
      Kemudian mengenai kebenaran, Allah pun menjawab dalam surah Al-fatah: 28, menjelaskan bahwa Dialah yang mengutus Rasulullah SAW dengan hidayah dan agama yang benar. Agar dimenangkan dan ditampakkannya kebenarannya di hadapan semua agama dan cukuplah Allah yang menjadi saksi.

      Seorang Prof. Lord dari bangsa Rusia, ia memcari kebenaran melalui dua belas agama. Dia memasuki agama satu ke agama lainnya. Akan tetapi ia sangat membenci agama islam sehingga ia menempatkan agama islam sebagai agama yang terakhir diteliti olehnya. Namun, justru karena kebenciannyalah yang kemudian membuat ia jatuh cinta terhadap islam dan ia pun memeluk agama islam. Hal demikian itulah yang kemudian mengingatkan kita pada ungkapan "janganlah engkau membenci sesuatu dengan amat sangat benci, boleh jadi suatu saat engkau akan cinta" atau "janganlah engkau mencintai sesuatu dengan amat sangat cinta, boleh jadi suatu saat engkau akan benci."

   Keempat, Teori Super Nature Power, yaitu kekuatan metafisik yang luar biasa. Suatu kekuatan yang tidak diketahui. Teori ini mengajarkan adanya suatu kekuatan yang tidak mampu dijangkau oleh manusia. Sebagai contoh, ruh yang sampai sekarang tidak ada satu professor pun yang mampu melihat bagaimana bentuk dan warnanya. Ruh inilah yang menghidupkan jasad. Namun tidak ada yang mampu mencapai apalagi meneliti ruh itu sendiri.

     Allah menjawab teori ini dalam Qs. Al-isra: 85. Pada ayat ini terdapat kata "Qalila" yang menerangkan tentang ilmu yang dimiliki oleh manusia. Diabadaikan pula dalam Qs. Al-isra: 85 tersebut, tentang kisah seseorang yang melontarkan pertanyaan kepada Imam Ali "apakah itu qalila?". Imam Ali tidak langsung menjawab "sedikit." Akan tetapi, ia menjawab dengan analogi semisal manusia mencelupkan tangan ke lautan maka tetesan-tesan yang jatuh itulah ilmu yang dimiliki manusia. Tetesan itulah ilmu manusia sedangkan lautan adalah ilmu Al-qur'anul qarim. Sehingga dapat dikatakan bahwa secerdas-cerdasnya manusia, ilmunya hanyalah sedikit. Kalaupun kita melakukan perbandingan maka itu hanyalah perbandingan yang bodoh dan naif.

      Berkenaan dengan ruh. Kita tidak akan pernah tahu seperti apa warna dan bentuknya sebagaimana kita tidak akan pernah tahu kapan, di mana, dan bagaimana kita meninggal.

      Apapun pertanyaan yang sampai hari ini terlontarkan dan hinggap di kepala sampai hari ini dan berkenaan tentang Tuhan, tidak ada sumber yang terbaik diantara yang terbaik selain Al-qur'an. Prof. Lord yang mencari kebenaran pun akhirnya menjadi mu'allaf. Begitu pula kisah Jamilah Kolocotronis yang menjadi mu'allaf. Ia yang awalnya bercita-cita menjadi seorang pendeta dan berusaha membuktikan betapa tersesatnya orang Islam. Ia pun mendapati Al-qur'an di sebuah perpustakaan. Akan tetapi ia tidak lain hanyalah ingin mencari kesalahan Al-qur'an yang mana di dalamnya terdapat beberapa kalimat yang kontradiksi dan ia tidak menemukan kesalahan sedikitpun setelahnya. Ia justru mendapat hidayah lewat penelitiannya tersebut. Ia yang begitu meyakini dirinya mampu mengkaji Al-qur'an dengan mudah saja dikarenakan statusnya sebagai seorang sarjana filosofi dan agama. Akhirnya ia menjadi mu'allaf setelah ia melakukan pelatihan pendeta. Dan, di sinilah ia menemukan kesalahan dari agamanya sendiri. Terdapat perjanjian di dalamnya bahwa mereka para pemdeta tidak boleh membeberkan bahwa Al-kitab yang mereka pakai bukan kitab suci. Dia menjadi semakin yakin untuk menjadi penganut agama islam setelah kejadian malam itu.

      Prof. Lord mengatakan "jika kamu berpikir sungguh-sungguh, maka ilmumu akan memaksamu untuk mencari Tuhan." Paling tidak kita dapat mengambil pelajaran dari dua kisah tersebut. Dari kisah tersebut mengajarkan kita bahwa tidak ada yang salah jika kita ingin mencari suatu kebenaran. Kebenaran yang mana kita bisa meraihnya dengan usaha yang tidak biasa-biasa saja. Tidak ada kata lelah dalam mencari kebenaran. Bersiaplah kita menghadapi kekalahan ketika lahir Prof. Lord lainnya yang melakukan penelitian lantas memeluk agama islam yang secara tidak langsung ia telah mendalami islam itu sendiri lewat penelitiannya. Sementara kita masih masih berleha-leha dengan status agama keturunan. Karena agama orang tua islam maka kita juga beragama islam dan tidak pernah mendalami, mempelajari agama islam. Bahkan menyentuh Al-qur'an pun jarang, apalagi mengamalkannya. Bukankah mengamalkan itu lahir dari paham? bukankah mengamalkan itu lahir dari penghayatan? bukankah penghayatan itu lahir dari paham? bukankah paham itu lahir dari membaca? dan bukankah pula membaca itu lahir dari menyentuh?

      Oleh karena itu, marilah kita membaca, memahami, mempelajari Al-qur'an dan mengamalkannya. Satu bencana bagi orang bodoh karena kebodohannya. Dan, tujuh bencana bagi orang yang berilmu namun tidak mengamalkannya. Karena kata Allah celakalah apabila pengetahuan itu sampai kepada mereka namun tidak mengamalkannya.

~Fastabiqul Khaerat~

   

     

     

Konsistensi dan Kebijaksanaan


Konsisten dan Bijak dalam Bersikap

      Terdapat banyak hal yang kita lewatkan dan mengabaikan hal-hal sepele namun cukup mengolah cara kerja otak kita. Berapa banyak peristiwa yang terjadi di sekeliling kita, namun tidak sempat mengambil hikmah dari peristiwa sekecil apapun itu.
      Sebuah anekdot yang memiliki hikmah dalam memahami hakikat dari hal sederhana sekalipun tidaklah mudah. Oleh karenanya kita mesti belajar fokus terhadap hal-hal sederhana yang dapat memberikan dapmpak postitif bagi perkembangan otak.
      Sebuah kisah berikut dari salah seorang sufi, filsuf, dan pendakwah Islam terkenal berasal dari Dinasti Seljuk (Turki) yaitu Nasruddin Hodja. Kisah yang disertai dengan humor di dalamnya. Dan, mampu memberikan pelajaran bagi para pembaca dalam mengenal tentang diri (knowing self). Jalan seseorang atau cara seseorang mengenal diri sering juga disebut tasawuf atau jalan yang ditempuh oleh seorang sufi. Sufi sendiri adalah sebutan untuk ahli tasawuf.
     
      Pada suatu masa, seseorang ingin belajar tentang kebijaksanaan dari Nasruddin. Nasruddin pun bersedia mengajarinya dengan catatan kebijaksanaan hanya mampu dipelajari dengan praktik.
      Seseorang tersebut pun datang pada malam itu. Ia mendapati Nasruddin sedang meniup-niup api kecil yang ada di hadapannya. Orang tersebut bertanya "mengapa engkau meniup api tersebut?"
      "Agar lebih panas dan apinya menjadi lebih besar," jawab Nasruddin. Kemudian setelah api besar, Nasruddin memasak sup. Setelah sup masak, ia meniup-niup sup tersebut. Seseorang ini kembali bertanya "mengapa kau meniup sup itu?"
   
       "Agar lebih dingin dan enak dimakan," jawab Nasruddin. Seseorang tersebut kemudian keliru dan menganggap Nasruddin tidak konsisten dengan pengetahuannya. Oleh karenanya orang ini merasa bahwa ia tidak ingin belajar dari Nasruddin.
       Perihal konsisten menurut si darwis adalah tindakan dengan menggunakan metode yang sama pada objek yang berbeda sehingga menghasilkan hasil yang sama pula. Dua objek yang berbeda namun memiliki suhu yang sama dan menggunakan metode yang sama yaitu dengan tiupan. Akan tetapi, menghasilkan output yang berbeda. Sehingga menurut Nasruddin, metode boleh sama namun tidak mesti hasilnya sama pula.
      Ada dua hal yang diajarkan oleh Nasruddin; pertama, untuk mencapai sesuatu, ada banyak jalan untuk mencapainya. Untuk mencapai sesuatu, kita dapat menggunakan metode yang berbeda terhadap objek yang sama dan dengan hasil yang sama pula. Misalnya, untuk mencapai angka dua, satu ditambah satu bukan satu-satunya jalan. Artinya setiap orang dapat menempuh jalan yang berbeda menuju Ilahi. Kemudian yang kedua, ialah meskipun kita berada di jalan yang sama atau menggunakan metode yang sama terhadap objek yang berbeda, tetapi hasilnya tidak mesti sama. Untuk itu, kita mesti bijak dalam bersikap. Bijak mempelajari sesuatu bahwa tidak semua ilmu itu buruk dan tidak semua ilmu itu baik. Konsusten dan bijak berarti bisa menempatkan diri sesuai porsi, situasi dan kondisi.
      Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan (Daring), konsisten memiliki makna tetap (tidak berubah-ubah); taat asas; selaras; sesuai (perkataan dan perbuatan). Jadi, kosisten bukan berarti tetap sama untuk semua persoalan. Akan tetapi dengan mengetahui kisah tersebut di atas, maka makna yang sesuai dengan kata konsisten adalah kata selaras dan sesuai.
      Jika saja konsistensi dimaknai dengan ucapan yang sama, maka akan sangat aneh pada masalah berikut.
      Seorang teman lama tidak bertemu bertanya pada Nasruddin, "berapa umurmu?"
       "Empat Puluh," jawab Nasruddin. Sedangkan pada pertemuan beberapa tahun lalu ia juga pernah ditanya dengan pertanyaan yang sama dan oleh orang yang sama pula. Temannya menjadi heran. Ia pun mengatakan "Anda mengatakan hal yang sama beberapa tahun yang lalu." Nasruddin kemudian menjawab "iya, saya konsisten dengan perkataan saya".
      Dari kisah tersebut, Nasruddin mengajarkan pada temannya. Bahwa konsistensi tidak dapat dipandang sebagai sebuah ucapan semata yang harus sama dari waktu ke waktu. Konsisten adalah sikap yang sesuai, selaras, ajeg dan sesuai dengan keadaan. Konsisten akan tetap sama (tidak berubah-ubah) terhadap objek yang berbeda lebih tepatnya berlaku pada hukum kecuali ada pengkhususan dari dalil setelahnya.
    
      Begitu pula konsisten dalam pembelajaran. Maksud dari konsisten dalam belajar bukan berarti mempelajari hal yang sama dari waktu ke waktu bukan? Konsisten dalam dalam hal ini berarti belajar terusenerus atau istiqamah dan tidak pernah bosan untuk menempah kemampuan diri. Dalam proses belajar mengajar, guru juga tidak mesti menggunakan satu metode untuk 30 peserta didik. Begitu pula dengan 30 peserta didik yang diajar dengan metode yang sama, akan menghasilkan output yang berbeda.
   

Student's Experiences

Jangan Nilai Covernya

Jangan Nilai Covernya      Suatu hari,  seorang laki-laki masuk di restorant yang tergolong elit dengan baju compang camping. Rest...

Jangan Nilai Covernya