yulitaadriyanti12@gmail .com

Pemimpin, Islam dan Pluralisme Nusantara

Indonesia adalah suatu negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Secara kuantitatif, negara ini menang dalam hal penduduk beragama islam. Mengalahkan agama-agama besar yang sudah berabad-abad lamanya dianut oleh bangsa Indonesia yaitu Hindu dan Budha. Oleh karena bangsa Indonesia adalah mayoritas beragama Islam, maka seringkali ia disebut sebagai Indonesia Islam atau negara Islam. Penyebaran islam pun berawal dari adanya aktivitas perdagangan antarnegara. Dakwah-dakwah yang disertakan pada aktivitas perdagangan lintas benua ini pun berlangsung sejak abad 15/16. Penyebarluasan islam sangatlah pesat hingga ke berbagai pulau yang ada di negara yang disebut juga negara maritim. Islam pun sejak awal penyebarannya dilakukan melalui pendekatan budaya. Maka dari itu, tidak heran jika budaya-budaya warisan agama terdahulu seperti animisme dan dinamisme masih terbawa sampai hari ini. Pendekatan budaya ini pun dilakukan agar islam diterima secara damai. Bukan sebagai agama yang memaksa terhadap masyarakat agar menjadi penganutnya. Islam berkembang tanpa menghilangkan kultur yang sudah sejak lama menjadi kebiasaan mereka.

Terlepas dari itu, Indonesia yang berlandaskan ideologi pancasila sudah semestinya beriringan dengan islam itu sendiri dalam mewujudkan sila-silanya. Pancasila yang dicetuskan oleh Presiden pertama kita Ir. Soekarno, ada dua sila yang sampai hari ini kita masih membohonginya. Tidak jarang orang yang mengabaikan sila kedua dan kelima pancasila. Kemanusiaan yang dikatakan adil dan beradab sampai hari ini masih menjadi kata kiasan yang imajinatif. Keadilan sosial yang ditujukan bagi seluruh rakyat Indonesia, pada kenyataannya masih memilah yang mana patut diadili dan yang mana tidak mesti diadili. Keadilan yang didengung-dengungkan seolah dibuat hanya sebatas pemanis atau penghibur di telinga masyarakat semata. Alangkah tidak eloknya ketika apa yang diperjuangangkan oleh para pahlawan pendiri bangsa ini kita sia-siakan bahkan terabaikan. Peranan pemuda pasca kemerdekaan semakin menciut jika diperhatikan sampai hari ini. Padahal kita tinggal mengisi kemerdekaan dengan bertarung tanpa menumpahkan darah seperti pada era kolonialisme dahulu. Kita hanya perlu memberikan dedikasi kita terhadap negara dengan berlaku adil mulai dari hal-hal terkecil sekalipun.

Sekilas kita melirik sejarah perjuangan para pahlawan pendiri bangsa Indonesia, mulai dari pencetusan nama bangsa Indonesia yang semula adalah atas nama Hindia Belanda yang menandakan sebagai negara jajahan Belanda. Ternyata kebanyakan diantara mereka adalah jebolan pendidikan Belanda pada saat itu. Mereka tidak lain diberi kesempatan mengenyam pendidikan hanya untuk menghasilkan tenaga-tenaga pegawai pribumi rendadan. Akan tetapi, melalui pendidikan tersebut justru timbul ambisi untuk memerdekakan bangsa Indonesia. Kemudian pencetusan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia dibuat agar kita tidak lagi memakai bahasa asing bahasa Belanda pada saat itu. Hal ini membuktikan bahwa menurut Muh. Yamin, tidaklah dikatakan merdeka jika dari segi bahasa pun kita masih dikuasai oleh bangsa asing. Jika saja kita memakai bahasa Belanda sampai hari ini, tidak menutup kemungkinan persepsi negara lain akan memandang bahwa kita adalah bagian dari mereka sehingga mulai dari kultur akan secara otomatis mengikut pada budaya negara Eropa tersebut. Mereka begitu gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan. Lebih menariknya mereka saling bahu membahu mendirikan bangsa ini di dalam banyaknya perbedaan diantara mereka seperti halnya perbedaan suku, agama, bahasa dan sebagainya. Namun hanya ada satu tujuan mulia yang ingin mereka capai yaitu kemerdekaan Indonesia.

Berbagai organisasi lahir dalam rangka memperjuangkan bangsa Indonesia. Termasuk diantaranya organisasi islam dan organisasi pertama di Indonesia adalah Budi Utomo, kemudian organisasi lainnya yang lahir setelahnya seperti SI, PI, Muhammadiyah, Al-Irsyad dan masih banyak lagi. Sebuah pemandangan yang begitu diharapkan di era sekarang ini. Dimana keberagaman bukanlah sebuah penghalang atau penyebab timbulnya perselisihan. Keadilan bukan hanya berbicara seputar di mana keadilannya pemerintah. Tetapi berawal dari hal-hal kecil, kita mesti memperbaikinya. Belum berangkat ke ranah perbedaan agama. Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim sendiri terdiri dari berbagai golongan atau organisasi masyarakat khususnya di bidang sosio kultural keagamaan. Hal ini selalu menjadi perbincangan yang cukup tidak ada habisnya sampai pada hari ini, lantaran klaim-klaim yang merasa paling benar masih saja terjadi di kalangan masyarakat muslim yang notabenenya adalah sesama umat muslim. Para penguasa pun demikian banyaknya yang mengaku beragama namun mereka telah menjual ayat-ayat Al-Qur'an sebagai pembenaran dari sistem kepemimpinan yang dilakukannya. Banyak diantara mereka yang mengaku bergama namun tidak cukup memiliki jiwa egalitarian.

Bangsa ini tetap akan jalan di tempat jika saja perbedaan selalu dibesar-besarkan. Tidak ada perbedaan yang cukup kontras jika saja jiwa toleran ada pada masing-masing individu. Karena sejatinya perubahan dimulai dari hal-hal kecil, maka dari itu cita-cita untuk melakukan perubahan justru haruslah dimulai dari diri masing-masing. Adapun ketika jiwa toleran sudah tertanam dalam diri setiap individu, jiwa egalitarian pun turut menunjang pemikiran setiap individu untuk menghargai sebuah perbedaan yang ada. Orang-orang yang memiliki jiwa egalitarian adalah orang-orang yang tidak memandang latar belakang orang lain. Baik dari segi kedudukan atau jabatan, keturunan, suku dan sebagainya. Dengan demikian, hukum akan dapat ditegakkan tanpa memandang status sosial, jabatan, dan segala sesuatu yang bersifat materi lainnya. Ketika kita melihat dari sisi keagamaan, dalam islam juga mengajarkan kita agar menanamkan perilaku terpuji yaitu toleransi.

Sadar tidak sadar, segala yang diperjuangkan orang-orang sampai hari ini tidak lain hanyalah materi. Orang-orang seperti ini biasa juga disebut orang yang materialistis. Di manapun dan kapan pun sebuah peristiwa terjadi, ketika telah diproses di rana hukum, kebanyakan diantara mereka bukan bertarung persoalan siapa benar siapa salah secara hukum. Tetapi mereka bertarung persoalan siapa menang siapa kalah. Dengan mengandalkan sekutu ini dan sekutu itu, orang-orang bisa menjadi salah di hadapan publik dikarenakan pemenangnya adalah mereka-mereka yang mengandalkan materi. Tidak jarang kita menjumpai kisah-kisah sedramatis ini. Siapapun yang bermateri bisa saja menang meskipun sebenarnya ia salah secara hukum dan siapapun yang tidak punya sekutu atau materi apapun bisa saja kalah karena ia telah disalahkan secara terpaksa oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dan tidak profesional dengan jabatan yang diembannya. Hal ini terjadi karena tidak adanya ketegasan dalam diri masing-masing untuk melawan egoisme yang merenggut jiwanya. Dimana mereka adalah keluarga, disitulah mereka akan bermain dengan jabatannya. Dimana mereka mempunyai materi, disitulah mereka akan melakukan tindakan sogok menyogok. Dimana mereka mempunyai kekuasaan, lantas ketika orang yang berwenang di rana hukum ini tidak melaksanakan keinginan orang yang bersalah ini, maka jabatannya akan terancam. Mau tidak mau, karena orang ini dalam hidupnya tujuannya hanya sebatas materi sehingga ia harus menelan liur untuk mengambil tindakan tidak adil terhadap pihak-pihak yang tidak mampu lagi berkutip kecuali hanya bersandar pada kebenaran yang ada. Orang-orang berkuasa ini tidak lain hanya pantas disebut boneka yang bisa diremot sana sini kapan dan di mana pun berada. Saya katakan ini terjadi karena sebagian besar diantara kita masih memandang latar belakang seseorang baik status sosial, keturunan, jabatan dan lainnya atau tidak adanya penanaman jiwa egalitarian dalam diri masing-masing. Sehingga perbedaan di tengah-tengah kita seolah menjadi faktor perselisihan antara golongan satu dengan golongan lainnya. Padahal perselisihan itu justru terjadi karena tidak adanya perasaan saling menghargai satu sama lain.

Terdapat sebuah kisah yang cukup bisa kita mengambil pelajaran dari seorang mantan presiden keempat Indonesia yaitu Pak Abdurrahman Wahid atau yang kerap dipanggil Gus Dur. Seorang tokoh pluralisme yang memiliki prinsip berpegang teguh pada keadilan dan keharusan adanya kesadaran melakukan perubahan-perubahan. Beliau mengajarkan kita untuk tetap bersandar pada keadilan apapun resikonya. Ketika beliau resmi menjadi presiden terpilih, beberapa kawannya justru menjauh darinya agar tidak terjadi yang namanya bias. Salah satu diantaranya adalah Gus Mus. Beliau justru mengucapkan bela sungkawa atas terpilihnya Gus Dur sebagai presiden. Beberapa kawannya ini termasuk budayawan W.S. Rendra turut menjauh justru sebagai bentuk dukungan mereka agar tidak terjadi bias setelahnya. Beliau karena berpegang pada prinsipnya yaitu keadilan membuatnya tidak pernah melakukan kompromi dalam situasi bagaimanapun. Termasuk ketika ia hendak dilengserkan jadi jabatannya. Dikarenakan beberapa faktor yang sebenarnya hanyalah bentuk kesalah pahaman. Beberapa orang menyangka beliau hanya membela kaum minoritas. Tetapi pada hakikatnya demikianlah cara beliau mendemokrasikan Islam sebagai rahmatallil 'alamin. Dengan cara ia mengayomi kaum-kaum minoritas tanpa melihat perbedaan agama khususnya, ia telah menjadikan politik sebagai jalan untuk mewujudkan istilah "kemanusiaan" sesuai dengan sila-sila pancasila yang kemudian kerap disebut olehnya sebagai "politik kemanusiaan." Posisinya sebagai presiden saat itu bukanlah hal yang sulit bagi beliau untuk mempertahankannya. Tetapi karena ia tidak mau melakukan kompromi yang pada saat itu beberapa pihak telah memberikan suatu tawaran untuk menyapu bersih parlemen agar ia tetap pada jabatannya, akhirnya ia lebih memilih mundur dari jabatannya. Sebab menurut beliau, perpecahan akan terjadi ketika ia tetap pada posisinya sebagai presiden. Dan, ternyata keadilannya terbukti pada saat itu. Yaitu ketika pasca tawaran itu datang kepadanya, ia justru memerintahkan agar orang-orang tersebut ditangkap. Kemudian bukti keadilan dan humanisnya seorang Gus Dur juga terlihat ketika ia menjadikan agama Konghucu sebagai agama resmi diakui oleh negara pada tahun 2000 silam. Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak hanya membela kaum mayoritas dalam hal ini islam, tetapi ia juga mengayomi para kaum minoritas dalam hal ini agama lain yang dianut oleh sebagian kecil rakyat Indonesia. Selain itu, beliau juga merupakan pemimpin yang selalu menggunakan pendekatan-pendekatan humanis dalam menyelesaikan sebuah persoalan terkait perbedaan-perbedaan diantara masyarakatnya seperti suku, agama, ras dan sebagainya. Dia begitu paham dengan bangsa ini yang serba serbi (plural).

Baginya islam itu adalah sebuah jalan damai. Tidak boleh ada perpecahan di dalamnya. Dari sini kita melihat betapa tingginya jiwa toleran yang ada pada sosok pemimpin yang satu ini. Hal ini membuat ia dibenci oleh kalangan mayoritas dan disukai oleh kalangan minoritas pada saat itu. Akan tetapi, saat ini banyak yang meneladani jiwa pemimpin beliau baik dari segi Islam Nusantaranya maupun berbagai jenis isu-isu lainnya terkait dengan demokrasi. Ia menampilkan islam di Nusantara yang mayoritas bukan sebagai jalan untuk mengkerdilkan kaum-kaum tertindas (minoritas). Ia benar-benar menunjukkan Islam sebagai rahmat bagi semesta. Sedikit mengutip potongan puisi salah seorang anak perempuannya di salah satu acara TV yaitu Mata Najwa.

"Bagaimana mungkin engkau memimpin dengan kondisi buta, sedangkan kami saja yang memiliki penglihatan yang normal masih seringkali tidak tahu membedakan antara benar dan salah."

Tetapi kata putrinya, justru dia yang buta lebih terbuka mata batinnya. Sosok yang mengajarkan kita bagaimana demokrasi harus ditegakkan, bagaimana jiwa toleran yang harus ditanamkan, dan bagaimana mewujudkan kemanusiaan yang berpatokan pada prinsip keadilan. Perbedaan yang kini berhasil membuat sekat diantara berbagai golongan. Perbedaan yang seolah menjadi alasan terpecahnya atau terjadinya berbagai tindak kekerasan, dan alasan untuk tidak lagi berjalan beriringan. Perbedaan kini telah menjadi tombak untuk menebar kebencian yang berujung perpecahan. Oleh sebab itu, sosok pemimpin seperti Gus Dur adalah pemimpin yang dapat dicontoh oleh pemimpin-pemimpin masa depan. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lainnya. Seorang pemimpin yang jujur, demokratis, toleran dan berjiwa humanis. Demikian cara-cara Gus Dur dalam memimpin bangsa yang masih dan akan tetap relevan dengan perkembangan zaman di masa yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Student's Experiences

Jangan Nilai Covernya

Jangan Nilai Covernya      Suatu hari,  seorang laki-laki masuk di restorant yang tergolong elit dengan baju compang camping. Rest...

Jangan Nilai Covernya